Sabtu, 20 November 2010

kan kku buat sedikit cerita tentang aku,kamu dan semu cerita yang tak pernah di bicarakan

Angga Adhitya
Ditulis Oleh Administrator   
Sunday, 16 March 2008
Ada keluh menyusupi pori-pori beton yang menghunjam tanah
bersama resah menggerogoti tulangannya.... Rintih Rerumputan I

Hijau lari pergi
dikejar kuning, tetap, pasti dan harus
meski bukan senja
pucat, layu, semu

sesendu hitam memagar makam
segetir segala pahit
sekarat semua racun
dibunuh puluhan sedih mendidih
lambai berganti seringai
leceh leceh leceh
ludah ludah
darah
mati
Rindu

Suatu sore
Saat hujan yang turun berwarna merah
titiknya kembali melukis kenangan di tanah
basah

Meringsut, satu jiwa di sudut sepi
Sampaikan irinya pada mega
memandang warna terpadu romansa
pikirnya membayang
dua jiwa berjumpa di pinggir kenangan yang tak teraba
kais semua sisa milik mereka
entah itu asa
apa cinta

Rasa Tentangmu

Kau hanya segelintir rasa yang memaksa
Mendesak dalam dada
yang penuh sesak dengan sakit yang berkerak

kau hanya suara yang terselip
di antara sempitnya hati oleh bisingnya jerit
sakit

kau kini kabut
hanya bisa berikan dingin
tak bisa menjelma jadi lain
tidak,
tidak walau hanya untuk menjadi rindu yang memudar bersama rona senja ditinggal mega


Rintih Rerumputan II

Bila pagi mereka basah kau pikir apa
Bukankah tak pernah kau temui malam yang senyap sungguh
Meski tak hujan
Meski tak ada jangkrik berisik
           Tak pula kodok mainkan sandiwara orkestra

Ada keluh menyusupi pori-pori beton yang menghunjam tanah
bersama resah menggerogoti tulangannya

Ada kesal pandang gadis-gadis bodoh terbalut Sophie Martin di mal-mal gemerlap lampu
Ada bingung dengar badut-badut S3 membodohi diri sendiri

Maka muaklah kita dengan semua
Maka muaklah kau dengan dirimu sendiri
            Aku dengan diriku sendiri
Lalu mulailah mencari
Dengan berjalan tegak meski harus melumuri jalanan dengan darah
- mu sendiri
- ku sendiri
hingga setan-setan pun seperti layu saat kau meremas rayu-nya
lalu diam dan dengarlah
karena
ada
ada, masih ada yang lain
sesuatu yang sulit terdengar
ada basah rintih rerumputan dibawah purnama dijemput mega
Rintih Rerumputan III

Kucoba teriakkan pada rembulan
apa yang tak mereka katakan
meski hanya sayup
di tengah mendung yang buatnya redup
belum lagi sudah
masih gelisah
masih utuh
belum lagi luruh
rintihnya
bersanding seroja yang lupa bagaimana untuk berbunga
seperti kulupa melupakanmu
pagi ini dan nanti
suatu waktu dimalam itu



Puisi Semalaman

Tergantung di langit
Awan menggumpal bersela
Bintang-bintang mengintip di antara
Kadang berkerlip, sembari malu diselip

Kupu-kupu tergugu
Saat pandang binar seribu

Bertabur putih berbutir
Laju terjunnya namun lahan nampak

Saat angin mainkan rambut
Pelangi Hilang Warna

Dulu surya bilang padaku
Kau itu merah
Kau itu ungu
Kau itu biru
Kau itu hijau
Hingga aku dulu pun bingung kau itu apa
Surya bilang sih, kau pelangi
katanya
tapi kenapa kini yang kulihat hanya kelabu sembunyi di balik awan kelam
tak berani muncul jika malam belu datang

padahal

Angin masih yang dulu
Langit masih yang dulu
Mentari masih yang dulu
Awan masih yang dulu
Pun masih berbuah hujan

Apa karena
Rumput di sana tak lagi hijau
Apa karena
Burung-burung berhenti berkicau
Apa karena
Semua puji kini jadi ceracau yang kacau
Lalu bermuntah galau

Ohh… sungguhkah semua itu membuatmu risau

kerdil
Dangkal
  Bodoh
Hanya karena ini semua
kau jadi pelangi hilang warna

Ayolah,!

Izinkan aku menulis puisi

Reretak tanah kemarau kering
Rerimbun daun berayun
Riuh gemuruh guruh
Kilau melukis sore
Cahaya di sesela daun
Liuk sayap burung
Berkas membekas batas
Resah selusupi hati yang sendiri
Ranting kering
Tangis sela daunan
Kelupas kulit pohonan kaku
Kering rumput enggan mati
Berisik bisik mekar anggrek tiga warna
Riang sejuta rasa sejuta makna
Ujung jalan suatu sore

Izinkan aku menulis puisi

biar kuisi waktu sendiri,
waktu kau pergi
waktu kau tak di sini
saat mereka mencaci
saat mereka mencari
  saat mereka mengataiku banci
kalau mereka mundur
kalau mereka hancur
  kalau mereka akhirnya melacur

Izinkan aku menulis puisi

Sewaktu ibu tak mau jadi ibu
Karena bapak tak mau jadi bapak
Sehingga bayi tak sempat menjadi bayi

Izinkan aku menulis puisi

Setiap kali kurasakan kau menahan perih
Saat terkadang ku tahu rindu
Ketika kusadar kau sungguh cinta

Izinkan aku menulis puisi

Izinkan aku, Bunda.
Tentang Seseorang

Wajahmu oh rembulan
Kau sembunyikan di balik awan
Di balik reranting basah oleh hujan yang senyap diujung kemarau

Kulalui hariku dengan menggamit namamu dalam tiap keping sajakku yang retak oleh waktu
Muncul dalam hitam kelam pena
dalam gemetar tanganku
Tanpa pernah tahu dan mau tahu siapa engkau
Oh kekasih pilihan tuhan

Hanya kuyakin kau akan mengusap tiap leleh
Kau akan membelai setiap perih
Kau akan menambal setiap retak
mata
hati
tulangku

Oh romansa di balik purnama
Engkau dalam kenangku

saat sayap kupu mengatup/lelah menanti bunga tak jua mekar/hujan pupus rindu setengah musim/bintang sendiri/bulan berubah/cintaku hilang/kau bawa pergi bersama sejuta kenang/juga tiap sayat dan perih/tersisa resah dalam desah/yang dulunya pun ingin kau telan sendiri
Rosa

Bias Kemuning
Sayup rintih leluka yang bercermin pada rembulan
Rintik harihari
Menggiring kebanyakan rindu ke ujung kebencian pada malam yang berjatuhan
Cinta terpaku pada sunyi
Tak terbahasakan oleh semua lingua
Tak pula isyarat
Meski hanya terbata


Sandiwara Sore

Percik
Hujan menyudahi sore yang bersandiwara
Keinginjumpaan didendangkan kekakuan
Pada tiap helai daun yang menari dingin
Melukis harap, cemas, takut
Rindu
Mencoba mengeja cinta yang segera kau tikam dengan cinta pula

Bila kuncup mekaran bunga?
Menanti surya gamit purnama


Bulan Sabit Gundah

Buram tentu tak terlihat dalam kelam
Hanya hitam malam
Geram

0 komentar:

Posting Komentar